1_407812392l.jpg

PEMIMPIN FEODAL-KAH DIMYATI NATAKUSUMAH..??

Pemimpin bergaya feodal Cenderung menjadi otoriter. Mereka mendefinisikan pemimpin sebagai pribadi yang memiliki kekuasaan. Pola kepemimpinan seperti ini sangat membudaya di Indonesia. Pemimpin otoriter-feodalistik ini beranggapan bahwa sumber kekuasaanya berasal dari kekuasaan yang lebih tinggi, bukan dari masyarakat yang harus dilayani. Sumber tersebut bisa berasal tokoh agama atau partai yang lebih tinggi daripada lembaga yang dipimpinnya.

Pengabdian pemimpin ini bukanlah kepada masyarakat atau bawahan yang dipimpinnya, tetapi kepada struktur atau orang-orang yang dia anggap memiliki kekuasaan yang lebih besar. Semakin besar kekuasaan yang dimiliki, semakin tinggi pula kedudukannya dalam suatu strata atau struktur. Di sini jelas, bahwa pemimpin jenis ini memandang orang atas dasar besarnya kekuasaan yang dimiliki.

Orang dikelompokkan ke dalam strata-strata, sebuah pandangan khas dari paham feodalisme. Pandangan feodalisme ini melahirkan pribadi-pribadi pemimpin dengan karakteristik, ‘menjilat ke atas, menginjak ke bawah’ atau “politik belah bambu”.


Karena pemimpin ini merasa bahwa sumber kekuasaannya diperoleh dari partai-nya, maka dia merasa berkewajiban mengabdikan diri dan hidupnya kepada partai-nya yang memberinya kekuasaan. Segala aktivitas pekerjaannya terutama ditujukan untuk ‘mengambil hati’ partai-nya. Dia akan selalu membina hubungan baik dengan partai-nya. Harapannya, semakin baik hubungan ini terbina, akan semakin lama pula dia menggenggam kekuasaan yang ‘disedekahkan’ oleh partainya itu.

Pemimpin otoriter-feodalistik ini selalu memikirkan berbagai cara untuk tetap memegang kekuasaan selama mungkin. Setiap ide, inisiatif dan kreativitas pegawai yang berbeda dengan pikiriannya pasti akan dianggap sebagai pembangkang yang ingin mendongkel kekuasaannya. Pegawai semacam ini akan di-pressing, dipinggirkan atau bila perlu dimusnahkan.
Dalam mengelola personil yang menjadi bawahannya, pemimpin otoriter-feodalistik mempolarisasi anak buahnya menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah orang-orang yang dipandang sangat loyal kepadanya, orang-orang yang pandai menjilat kepadanya. Golongan lainnya adalah berisi orang-orang yang dipandang sebagai pembangkang. Golongan kedua ini biasanya terdiri dari orang-orang yang tidak suka menjilat, tidak se-visi, tidak se-ideologi atau tidak menyukai gaya kepemimpinannya.


Oleh karena dia telah melakukan polarisasi seperti itu, maka sikap, pikiran dan perilakunya tentu berbeda terhadap kedua golongan tersebut. Pada golongan loyalis yang pandai menjilat, dia bersikap sangat afirmatif : sering memuji-muji, menganggap semua usulan dan kinerja kelompok ini pasti baik dan benar, sering memberi reward-baik finansial maupun kedudukan. Sebaliknya, terhadap kelompok yang dian
ggap pembangkang, dia bersikap sangat negatif. Di matanya, sedikit sekali hal benar dari kelompok ini. Pekerjaan apa pun yang dilakukan kelompok ini dipandang salah. Semua ide yang keluar dari mereka selalu dipandang dengan kecurigaan. Sikap dan perilakunya terhadap kelompok yang dipandang pembangkang ini adalah menekan, meneror, menakut-nakuti dan mengancam sebagaimana sering dilakukan Soeharto dan kelompoknya di jaman orba dulu.

Sikap yang berbeda terhadap bawahan seperti itu menghasilkan akibat yang be
rbeda pula terhadap kinerja masing-masing kelompok. Kelompok loyalis, karena merasa selalu mendapat dukungan dari pimpinan, biasanya akan mengembangkan tehnik-tehnik menjilat yang semakin canggih. Fokus kinerja mereka adalah memberi ‘service yang memuaskan’ bagi pimpinan. Sisi baik dari kelompok ini adalah segala perintah pimpinan akan mereka lakukan dengan sebaik mungkin. Sisi negatifnya, karena fokus mereka pada menyenangkan pimpinan, maka tanggung-jawab mereka dalam melaksanakan tanggungjawabnya relatif tidak bisa diharapkan. Ide-ide kreatif mereka biasanya mandul. Mereka tidak berani mengambil keputusan cerdas tanpa restu pimpinan, hal ini karena tidak memiliki kemandirian. Yang lebih parah lagi, demi mengambil hati pimpinan, para loyalis ini sangat suka menjelek-jelekkan kelompok yang dipandang pembangkang di hadapan pimpinannya.

Mereka beranggapan, semakin mereka bisa menunjukkan ‘permusuhan’ dengan para pembangkang ini, mereka akan semakin mendapat tempat di hati pimpinannya. Di pihak lain, kelompok yang dianggap pembangkang ini, karena merasa memperoleh perlakuan yang tidak adil dari pimpinan, maka rasa tidak suka dengan pimpinan semakin hari semakin tinggi. Perasaan tidak suka ini pada sebagian orang akan diperlihatkan dalam bentuk pembangkangan secara terang-terangan, pada sebagian lain dalam bentuk yang tersembunyi.

Bawahan yang memiliki integritas pribadi yang kuat dan prinsip hidup yang jelas, akan melakukan pembangkangan secara terbuka. Sedangkan bawahan yang kurang memiliki integritas, akan melakukan secara sembunyi-sembunyi. Meski berbeda dalam menyikapi kepemimpinan model ini, keduanya memiliki pola kinerja yang sama, yakni menunjukkan performance yang pasif, rendah dan kurang memiliki tanggung-jawab pribadi.

Mereka melakukan pekerjaan semata-mata bertujuan untuk menghindari ancaman pecat atau mutasi dari pimpinan saja. Performance mereka sangat minim, sekadar untuk mencari selamat. Lebih parah lagi, kelompok ini tak segan-segan melakukan perbuatan yang justru menjatuhkan lembaga atau organisasinya sendiri, semata-mata untuk menunjukkan kegagalan dari pimpinannya. Selain ditujukan kepada pimpinannya, kebencian kelompok pembangkang ini juga dialamatkan kepada kelompok loyalis/penjilat.

Akibat dari permusuhan ini, kemudian muncul isu-isu saling menjatuhkan yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak. Suasana kerja bagai bara dalam sekam. Jika tidak segera disadari, suasana ini semakin hari akan semakin panas. Akhirnya, energi, waktu dan tenaga dari setiap personil banyak tersita untuk melakukan ‘perang isu’. Keduanya kurang memiliki fokus pada pekerjaannya masing-masing.

Dari penjelasan di atas, kiranya bisa disimpulkan bahwa di bawah model kepemimpinan yang otoriter-feodalistik ini, sangat sulit diharapkan adanya kinerja yang baik dari lembaga yang mereka pimpin. Hal ini karena para bawahannya sangat disibukkan oleh adanya’permusuhan’ antara golongan loyalis dan golongan pembangkang. Di samping itu, karena model managemen yang dikembangkan relatif tidak memungkinkan seluruh karyawan yang ada untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, penentuan tujuan mau pun controlling, maka perfomance yang ditampilkan sekadar untuk mencari selamat.

Di bawah pemimpin yang otoriter-feodalistik peluang karyawan seakan disumbat. Segala ide, kreativitas dan inovasi yang diusulkan bawahan dipotong oleh pimpinan. Satu-satunya pemikiran yang boleh dikembangkan adalah yang berasal dari atasan atau atasannya lagi.

Comments :

0 komentar to “PEMIMPIN FEODAL-KAH DIMYATI NATAKUSUMAH..??”