1_407812392l.jpg

Centang Perenang Peradaban Kita

Catatan Alfred Pasifico Ginting




Memerah wajah Jusuf Kalla di Amerika. Seseorang di sana mengingatkan dia, sistem pemilihan mencoblos di negerinya kebiasaan zaman batu –kabarnya tinggal Indonesia dan Mozambik yang memakai cara itu. Berpikir keras Kalla di atas pesawat yang menerbangkan dia pulang. Di Jakarta dia kumpulkan pengurus partainya. Memerintahkan mereka untuk menjadikan perubahan sistem mencoblos menjadi mencontreng sebagai agenda partai.

Mendorong perubahan ini tidak mudah. Golkar sendirian. Partai besar lain awalnya menolak karena masih percaya wong cilik akan kesusahan di bilik suara. Bagi Kalla ini peradaban baru demokrasi Indonesia. Perubahan yang seakan-akan membawa demokrasi Indonesia keluar dari masa prasejarah politik. ‘Peradaban menusuk’ bergeser ke ‘peradaban tinta.’ Rakyat pemilih mulai menorehkan tulisan pada kertas suara, meski hanya sebuah pertanda serupa huruf ‘V’ atau ‘X,’ disebut mencontreng, mencentang atau apapun itu.

Apakah kita akan memasuki peradaban politik baru? Saya ragu.

Keraguan saya semakin menjadi jelas ketika membaca ini:
….Jika ada satu partai yang menang dalam Pemilu ini dan banyak partai lain menyatakan kemenangan itu sebagai hasil kecurangan, maka bisa muncul kondisi kekerasan. "Hari ini saya bisa terpikir mendatangkan 150 ribu orang ke Istana, bisa saja partai-partai lain melakukan yang sama," kata Prabowo. Dan itu berbahaya.
"Kalau kita tidak menyelesaikan masalah dengan kotak suara, maka kita menyelesaikan dengan kekerasan-kekerasan, dengan laskar-laskar di jalanan. Kita punya sejarah laskar," kata Letnan Jenderal Purnawirawan Angkatan Darat itu. [http://nasional.vivanews.com/news/read/45489-prabowo__ada_20_juta_pemilih_siluman]


Saya tak kenal Tuan Letnan Jenderal Prabowo yang pensiunan tentara, apakah dia benar senang bercanda. Tapi Tuan Prabowo sedang mematok demokrasi kita sekadar soal jumlah dan bagaimana memenuhi jalanan. Demokrasi kita bukan hasrat menunjukkan senyum peradaban. Demokrasi kita adalah menuding Istana sebagai sasaran kerja politik, bukan persawahan, pasar tradisional, perkebunan dan peternakan rakyat yang cuma dijadikan jargon penarik pikat.

Demokrasi kita adalah kandang bagi hamster-hamster umur seminggu yang terlalu percaya diri telah berlari jauh, padahal masih berputar-putar di dalam roda, di kandang yang sama. Demokrasi kita yang dipenuhi juru parkir karena lahan kertas suara begitu sesak, mengaba-aba “pojok kanan atas, turun dua, ke kiri tiga, terus…terus… gubrak!” Demokrasi kita adalah transaksi yang tidak relevan antara membayar kecurangan dengan kekerasan. Transaksi yang jarang dipahami dengan benar, seperti yang ditulis oleh seorang teman yang aktivis partai di notesnya, pagi kemarin:
“…., teman2, jangan golput. Jangan tidak memilih. Kalian harus perjuangkan HAK kalian. Kalian berhak untuk menentukan arah dari negara ini. Jika golput, jangan merasa berhak untuk mengkritik pemerintahan terpilih. Kalian tidak ikut andil. Gak seru kan?”

Teman saya yang anak bawang di dunia politik seperti sedang menawarkan sebuah transaksi harapan. Harapan yang seperti yang sudah-sudah selalu kandas di alam kenyataan. Apalagi bila harapan itu disandarkan pada pihak yang peradabannya baru sanggup mengekspresikan ketidakpuasan lewat 150 ribu massa.

Saya bukan orang pesimis. Para pesimis yang dalam konteks demokrasi cukup tepat pengartiannya oleh sebuah kredo terkenal: “Pinjamlah uang dari si pesimis, ia toh tidak berharap uang itu kembali.” Hanya mereka yang pesimis yang menyerahkan serta merta suaranya di bilik suara, pulang, dan datang lagi lima tahun mendatang.

Saya seorang optimis. Saya yang optimis kemajuan tak harus dengan cara mereka. Saya manusia yang optimis perubahan tak harus dititipkan pada sebuah kertas penuh logo dan nama dan selanjutnya tunggu saja apa yang sanggup mereka sediakan. Saya yang sangat optimis tidak ikut pemilu berarti MENOLAK BUNGKAM*.



* Judul buku yang ditulis seorang yang pernah aktivis dan sekarang giat berpartai, mungkin mengidap sindrom stockholm :)


di postkan oleh www.culasatu.blogspot.com

Comments :

0 komentar to “Centang Perenang Peradaban Kita”